Amplop Duit Mbah Syakur
Kyai Syakur dan Kyai
Jauhari — dua di antara tiang-tiang penyangga Pamotan dan Rembang — barengan
menghadiri undangan hajatan di tempat yang agak jauh. Seorang santri
mengantarkan mereka dengan mobil pinjaman. Usai acara, shohibul hajat menyalam-tempelkan
amplop untuk keduanya. Yang untuk Mbah Syakur terlihat lebih tebal karena
beliau lebih tua baik umur maupun ilmunya. Itu pun masih ditambahi dua slop
rokok.
Di dalam mobil menuju
pulang, Mbah Syakur menimang-nimang amplop bagiannya. “Kayaknya kok terlalu banyak
ini, Dik…”, Mbah Syakur bergumam serius — beliau memanggil Mbah Jauhari dengan
“Dik”, sebutan untuk yang lebih muda — masih menimang-nimang amplopnya, “… Apa
baiknya kukembalikan saja ya…?”
Mbah Jauhari
memicing-micingkan mata dalam keremangan, berusaha mengamati raut muka Mbah
Syakur. Tak ia temukan sama-sekali tanda-tanda bercanda. Mbah Syakur memang
nyaris senantiasa serius secara istiqomah. Begitu pun saat itu.
“Menurutmu gimana,
Dik?” Mbah Syakur mengulangi pertanyaannya karena tidak segera dijawab.
Mbah Jauhari menghela
napas dan menghembuskannya seperti orang sial yang tak berdaya.
“Kalau njenengan
kembalikan, itu namanya nyiksa kyai-kyai sekelas saya ini, Yi!” katanya.
“Kok bisa?” Mbah Syakur
tak mengerti.
“Lha iya… Kalau
njenengan kembalikan, lantas orang-orang menjadikannya pedoman gimana?”
“Pedoman apa?”
“Bisa-bisa mereka
menganggap bahwa ngasih amplop kepada kyai itu tidak baik, wong njenengan nggak
mau”.
“Memangnya kalau gitu
kenapa?”
“Buat njenengan sih
nggak apa-apa… wong njenengan sudah kelas kyai tajrid,” (tajrid itu
artinya melepaskan diri dari ketergantungan duniawi) “lha
kayak saya ini masih kelas kyai njerit je!”
Mbah Syakur cuma mesem,
tapi setuju membawa pulang amplopnya.
Sampai di rumah, saat
turun dari mobil, Mbah Syakur tampak kerepotan membawa rokok yang dua slop itu.
“Lha rokok ini buat
apa?” katanya, “wong aku nggak doyan rokok…”
Beliau mikir-mikir
sejurus,
“Ya sudah! Buat kamu
saja, Dik!” beliau mengangsurkan rokok kepada Mbah Jauhari. Yang menerima
tersenyum lebar sekali,
“Lha mbok gitu! Kan ya
tetap manfaat to, Yi!”
0 komentar:
Post a Comment