Secangkir Hujan di Bulan Januari
Pagi yang gerimis, kutanak rindu di tepian
matamu,
di sederet kisah yang luber pada hujan di
bulan Januari.
Sudah bulan Januari rupanya. Itu berarti
langit akan lebih mendung dari biasanya, hujan akan lebih deras dari biasanya,
dan ingatanku tentang kita akan lebih menggenang tentu saja. Oh maaf, aku
ralat. Sekarang hanya akan ada aku dan kamu. Tidak akan ada lagi kata kita.
Hei, apakah kamu pernah mendengar kisah tentang sepatu yang mengaduh di musim
paling gersang? Di musim yang membuatnya sedih, dan ia hanya mampu menyimpan
dan menceritakan kesedihannya untuk dirinya sendiri. Begini ceritanya. Ketika
itu dingin menempel di tubuhmu, di kakimu. Kamu menatap hujan dengan
tatapan mengutuk. Kamu tidak bisa berlari, tidak bisa terburu-buru karena hujan
sedang menghambat langkahmu. Kamu sangat benci basah. Kamu sangat tidak
menyukai hujan. Aku sangat tahu benar itu.
“Matahari
begitu terik tetapi hujan justru turun dengan sangat derasnya. Hujan yang
datang terlalu terburu-buru saat rumput tak terlalu rindu dicumbu basah. Hujan
di musim yang tidak tepat,” katamu. Kamu menengok sepatu hitam usang yang kamu
kenakan hari itu. Lalu kembali menggerutu, mencibir hujan.
***
Sudah hampir pukul satu siang, tetapi kamu
belum juga datang. Padahal di pesan singkat yang kamu kirimkan untukku semalam,
kita akan bertemu di sini tepat pukul dua belas. “Lelaki sepertimu sangat
menghargai waktu, kecuali... ’’ aku melemparkan pandangan keluar jendela untuk
melihat langit dan ternyata benar langit memang sedang hujan. Tiba-tiba aku
jadi membayangkan ekspresi wajahmu yang lucu sekaligus menjengkelkan itu.
“Lelaki
sepertimu pantas saja tidak bisa menyukai hujan,” ucapku suatu ketika.
“Lelaki
seperti apa?” kamu memandangku dengan tatapan garang.
“Lelaki
dingin, judes, tidak ramah, nyebelin. Ah, nggak banget pokoknya,” seperti biasa
aku bicara tanpa titik koma tanpa takut menyinggung perasaannmu. Aku sudah
terlalu mahir melakukannya dan kamu juga terlampau hebat menanggapinya. Aku dan
kamu sudah terbiasa seperti itu. Kita sudah bersahabat sejak lama. Biarpun kamu
sangat menyebalkan tetapi aku sangat tahu kamu adalah lelaki yang sangat baik.
Dan satu hal penting yang aku tahu adalah kamu selalu ada buatku.
“Padahal
bukankah hujan juga yang telah mempertemukan kita? hujan telah menjadikan hidup
menjadi lebih hidup, menghadirkan milyaran inspirasi untukku menulis, dan... ”
“Hari ini kamu
cerewet sekali,” kamu memotong pembicaraanku.
“Bisa nggak
sih sekali-kali jangan memotong pembicaraan orang?” aku memanyunkan muka.
***
Langit
Maya pasti sedang cemberut menungguku.
Perempuan yang mencintai hujan itu tidak pernah suka aku terlambat. Tetapi hari
ini aku sedang terjebak hujan. Aku tidak suka basah tetapi aku juga tidak suka
memakai payung. Aku jadi teringat kisah patah hati yang perempuan itu
ceritakan padaku di dua jam obrolan telepon semalam. Hari ini ia memintaku
mendengarkan segala keluh kesahnya. Entahlah, aku sangat suka mendengar ia
bercerita.
Ia pencerita
yang sangat baik. Matanya selalu hidup saat ia bercerita meskipun dalam
cerita-ceritanya hanya ada luka dan kepedihan yang ia pelihara, yang seharusnya
tidak pernah perlu. Ia sungguh sudah terlalu cerdas untuk memanjakan lukanya.
Ia begitu sejak ia resmi jatuh cinta pada seorang lelaki dari negeri
dongengnya. Dongeng yang hanya pernah ia ciptakan sendiri. Aku masih sangat
ingat, lelaki yang disebut-sebutnya mirip Andy Lau, seorang penulis yang pernah
ia kenalkan padaku satu tahun yang lalu itu. Ah bagaimana bisa ia jatuh hati
pada lelaki seperti itu? Ia jatuh hati karena lelaki itu memiliki wajah yang
mirip Andy Lau? Idolanya itu? Itu sinting! Itu gila! Itu benar-benar tidak
masuk akal!
Lalu ia patah
hati ketika cintanya bertepuk sebelah tangan. Sejak saat itulah, aku tahu
kenapa puisi-puisi yang ditulis olehnya seperti menangis. Rupanya perempuan itu
melahirkan puisi dari air mata dan luka.
Maya, aku
tidak bisa berhenti mengeja namanya. Perempuan itu adalah pencerita dongeng
yang ditakdirkan untuk membuatku tergila-gila.
***
Aku benci menunggu, kamu sangat tahu itu kan?
Awas saja. Aku pasti akan memberikanmu pelajaran jika kamu datang nanti. Tetapi
sebenarnya sekujur rasa khawatir tengah dengan cepatnya mengerubungi dan
menguasai diriku. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirimu. Oleh karena
itulah, aku memutuskan untuk meneleponmu saja. Lama. Kamu tidak mengangkat
telepon. “Kamu tidak mungkin lupa jalan kemari kan? Bodoh sekali jika sampai
tersesat,” aku mendesis.
Oh, aku ingat dengan beberapa puisi yang baru saja kutulis dan ingin
kutunjukkan kepadamu. Banyak juga kisah baru dalam perjalanan hidupku yang
harus kamu dengarkan. Entahlah, kamu adalah pendengar yang baik. Sangat baik
malah. Aku senang ketika sedang bercerita kepadamu. Kamu bahkan tidak perlu
untuk berkomentar apapun apalagi mengasihani kisah patah hatiku saat ini.
“Kamu jatuh
cinta?” kamu menertawakanku suatu ketika.
“Kenapa kamu
tertawa? Apakah jatuh cinta adalah sesuatu yang lucu?” menertawakan sesuatu
yang sama sekali tidak lucu, itu jelas sekali namanya lancang.
Lalu kamu
mengamatiku dengan lekat-lekat. Tatapan yang sama sekali sangat tidak kusukai.
Menjijikkan.
“Dia seperti
Andy Lau,” cetusku. “Dan ini adalah untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Akan
kuabadikan momen ini dalam buku harianku. Aku pertama kali jatuh cinta tepat
ketika aku berusia 20 tahun.”
Aku tidak
memberikan kesempatan untukmu menyelaku. “Ini tidak mungkin salah. Aku sangat
tahu benar bagaimana rasanya jatuh cinta, persis seperti di novel-novel roman
yang pernah aku baca. Seseorang yang jatuh cinta pasti akan lebih susah
melakukan segala hal, termasuk ketika makan dan tidur. Mereka yang jatuh cinta
akan selalu memikirkan seseorang yang dicintainya itu. Waktu bersama ketika
bersamanya akan terasa sangat singkat sedangkan ketika berpisah, ah begitu
terasa sangat panjang. Mereka akan berbunga-bunga sepanjang hari, terutama
ketika mendapat ucapan selamat pagi dan selamat tidur. Terkadang mereka juga
akan gelisah dan cemburu-cemburu tidak jelas. Level penasaran tentang segala
hal yang berkaitan dengannya akan menaik drastis. Kamu bisa bayangkan itu? Ah,
tentu saja tidak. Karena lelaki sepertimu tidak pernah mengalami rasanya jatuh
cinta, bukan? Sedangkan aku, aku saat ini sedang mengalaminya.” Aku sangat
menggebu-gebu bercerita.
Seketika aku
benar-benar seperti sedang mendengar suara kamu. Benar sekali. Itu kamu! Aneh
sekali. Hari ini kamu kuyup. Apakah kamu benar-benar menerjang hujan? Aku
bahkan tidak bisa mempercayainya.
“Langit! Ke
sini!” Aku melambaikan tangan ke arahmu.
***
Langit
Sudah jam satu dan hujan tak kunjung juga
reda. Malah semakin deras. Aku takut Maya akan marah. Maka untuk pertama kalinya
aku memutuskan untuk menerjang basah. Aku berlari, melompati genangan demi
genangan air yang mengambang di jalanan. “Sudah hampir sampai,” gumamku.
Aku juga melihat Maya. Oh, tidak seperti hari-hari biasanya. Hari ini ia
mengenakan baju dengan warna yang paling ia hindari. Hitam. Tidak mungkin
melesat lagi. Ia pasti sedang tidak baik. Perempuan itu punya kebiasaan yang
aneh, ia seringkali menyerasikan warna baju dengan suasana hatinya. Jika langit
sedang mendung, ia akan memakai baju berwarna abu-abu. Jika cerah, ia memakai
baju kuning. Warna ini menggambarkan ini. Warna itu menggambarkan itu. Masih
banyak hal yang susah kutebak. Tetapi satu hal yang paling aku tidak ketahui
adalah ketika ia tiba-tiba memakai baju berwarna merah jambu. Apakah hatinya
sedang merah jambu?
Saat ini sudah bulan Januari. Ia memakai baju berwarna merah jambu ketika bulan
Januari yang lalu. Itu menandakan sudah satu tahun. Sudah satu tahun ia
tergila-gila dengan lelaki pujaannya itu. Segala cerita yang meluncur dari
bibirnya begitu menderas seperti hujan. Padahal jatuh cinta yang pertama
kalinya ini sekaligus membuat ada seseorang yang seketika patah. Aku. Jadi
sangat salah bukan ketika ia dengan secara frontalnya mengatakan aku tidak
mengerti rasanya jatuh cinta? Aku bahkan sudah mengalami. Jauh lebih dulu
daripada ia. Iya. Tanpa ia sadari.
Tetapi
semalaman ia terisak. Menangis tersedu-sedu. Perempuan itu bilang, ia sedang
patah hati. Ah, betapa mungkin perempuan sepertinya dicampakkan? Cintanya
bertepuk sebelah tangan.
Aku melihat
perempuan bermata bintang itu melambaikan tangan. Aku menghampirinya.
***
Astaga! Kamu basah. Kamu menerjang hujan. Aku
masih tidak percaya itu. Aku merogoh kamera dari tasku. Memotret. Mengabadikan
momen paling langka ini.
Terus terang saja. Ada beberapa hal yang mengharuskan aku untuk menunjukkan
rasa marah padamu. Tetapi lagi-lagi. Betapa aku tidak bisa. Aku kasihan
melihatmu terlilit gigil seperti itu.
“Biarkan kupesankan cokelat panas untukmu dulu.” Aku membuka percakapan.
“Kamu tidak marah?”
“Untuk?” aku pura-pura tidak mengerti.
“Ya karena aku hari ini terlambat. Kamu pasti sudah menunggu cukup lama,
bukan?”
“Bukan cukup. Tapi sangat lama sekali.” Aku sangat jengkel mendengar kamu
mengucapkan kalimat cukup dengan entengnya.
“Oke. Jadi kenapa dia meninggalkanmu?”
Betapa sungguh tidak sopannya kamu. Sudah datang terlambat. Tidak minta maaf.
Tidak merasa bersalah. Dan sekarang menanyakan sesuatu dengan tanpa beban
seakan menanyakan kamu sudah makan atau belum?
Mendadak aku jadi ingin cepat minggat saja dari tempat ini. Manusia dingin
sepertimu, sebaiknya diapakan? Aiiiih...
“Jangan cemberut gitu ah. Oke aku minta maaf. Banget!” kamu menangkupkan kedua
tanganmu.
Aku sama sekali tidak tertarik dengan kata maaf. Aku lebih tertarik dengan apa
yang terjadi pada sepatumu.
“Kamu tidak pakai sepatu? Sepatumu kemana?” aku bertanya penasaran.
“Rusak. Langkahku semakin terhambat karenanya,” kamu menjawab
“Jadi kamu membuangnya begitu saja?” aku
tidak bisa untuk tidak mendesak kali ini. “Itu sepatu yang kuberikan pada saat
ulang tahunmu yang ke 23. Serusak dan sejelek apapun, harusnya kamu tidak
membuangnya. Kamu cukup menyimpannya dan itu bisa membuatku bahagia. Bukankah
aku pernah bilang seperti itu padamu?”
***
Langit
Hanya karena aku membuang sepatu usang
pemberiannya itu. Maya sangat marah padaku. Marah sekali. Perempuan itu kerap
menerapkan peraturan-peraturan aneh. Tetapi justru itu yang membuatnya terasa
istimewa untukku. Jika katanya, sepatu itu mempunyai kisah sedih yang hanya
bisa disimpan dan diceritakan untuk dirinya sendiri. Maka ada satu hal yang
harusnya juga perlu ia ketahui. Di luar sana sedang hujan, seorang lelaki
dingin kedinginan berharap perempuan bermata bintangnya kembali. Lelaki itu
kerap menyeduh hujan dan kisah cinta diam-diam yang hanya mampu dipendam.
Untuknya sendiri.
Rupanya tidak
butuh waktu lama untuk membuat aku dan ia, menjadi kembali asing.
Aku melangkah
tanpa takut lagi terkena basah. Aku sayup yang tak pernah takut lagi menjadi
kuyup. Aku adalah dingin yang ingin mencintainya tanpa harus diam-diam lagi.
Dalam hujan aku menari, sembari merapalkan sebuah nama yang menjadi
namanya. Maya.
Yang menghimpun banyak ingatan adalah
kenangan.
Sedangkan aku adalah rindu yang pecah dari
langit yang gemuruh itu.
Kini aku tahu
apa yang harus aku lakukan. Menjemputnya. Mengatakan segalanya. Sebelum
menyesal. Sebelum semuanya menjadi lebih menyakitkan.
(Suara Sang Pelopor)