Aspirasi dari sumber inspiratif yang inovatif

Tuesday, December 19, 2017

Secangkir Hujan di Bulan Januari

Secangkir Hujan di Bulan Januari

Pagi yang gerimis, kutanak rindu di tepian matamu,
di sederet kisah yang luber pada hujan di bulan Januari.

Sudah bulan Januari rupanya. Itu berarti langit akan lebih mendung dari biasanya, hujan akan lebih deras dari biasanya, dan ingatanku tentang kita akan lebih menggenang tentu saja. Oh maaf, aku ralat. Sekarang hanya akan ada aku dan kamu. Tidak akan ada lagi kata kita. Hei, apakah kamu pernah mendengar kisah tentang sepatu yang mengaduh di musim paling gersang? Di musim yang membuatnya sedih, dan ia hanya mampu menyimpan dan menceritakan kesedihannya untuk dirinya sendiri. Begini ceritanya. Ketika itu dingin menempel di tubuhmu, di kakimu.  Kamu menatap hujan dengan tatapan mengutuk. Kamu tidak bisa berlari, tidak bisa terburu-buru karena hujan sedang menghambat langkahmu. Kamu sangat benci basah. Kamu sangat tidak menyukai hujan. Aku sangat tahu benar itu.
“Matahari begitu terik tetapi hujan justru turun dengan sangat derasnya. Hujan yang datang terlalu terburu-buru saat rumput tak terlalu rindu dicumbu basah. Hujan di musim yang tidak tepat,” katamu. Kamu menengok sepatu hitam usang yang kamu kenakan hari itu. Lalu kembali menggerutu, mencibir hujan.
***
Sudah hampir pukul satu siang, tetapi kamu belum juga datang. Padahal di pesan singkat yang kamu kirimkan untukku semalam, kita akan bertemu di sini tepat pukul dua belas. “Lelaki sepertimu sangat menghargai waktu, kecuali... ’’ aku melemparkan pandangan keluar jendela untuk melihat langit dan ternyata benar langit memang sedang hujan. Tiba-tiba aku jadi membayangkan ekspresi wajahmu yang lucu sekaligus menjengkelkan itu.
“Lelaki sepertimu pantas saja tidak bisa menyukai hujan,” ucapku suatu ketika.
“Lelaki seperti apa?” kamu memandangku dengan tatapan garang.
“Lelaki dingin, judes, tidak ramah, nyebelin. Ah, nggak banget pokoknya,” seperti biasa aku bicara tanpa titik koma tanpa takut menyinggung perasaannmu. Aku sudah terlalu mahir melakukannya dan kamu juga terlampau hebat menanggapinya. Aku dan kamu sudah terbiasa seperti itu. Kita sudah bersahabat sejak lama. Biarpun kamu sangat menyebalkan tetapi aku sangat tahu kamu adalah lelaki yang sangat baik. Dan satu hal penting yang aku tahu adalah kamu selalu ada buatku.
“Padahal bukankah hujan juga yang telah mempertemukan kita? hujan telah menjadikan hidup menjadi lebih hidup, menghadirkan milyaran inspirasi untukku menulis, dan... ”
“Hari ini kamu cerewet sekali,” kamu memotong pembicaraanku.
“Bisa nggak sih sekali-kali jangan memotong pembicaraan orang?” aku memanyunkan muka.
***
Langit
Maya pasti sedang cemberut menungguku. Perempuan yang mencintai hujan itu tidak pernah suka aku terlambat. Tetapi hari ini aku sedang terjebak hujan. Aku tidak suka basah tetapi aku juga tidak suka memakai payung. Aku  jadi teringat kisah patah hati yang perempuan itu ceritakan padaku di dua jam obrolan telepon semalam. Hari ini ia memintaku mendengarkan segala keluh kesahnya. Entahlah, aku sangat suka mendengar ia bercerita.
Ia pencerita yang sangat baik. Matanya selalu hidup saat ia bercerita meskipun dalam cerita-ceritanya hanya ada luka dan kepedihan yang ia pelihara, yang seharusnya tidak pernah perlu. Ia sungguh sudah terlalu cerdas untuk memanjakan lukanya. Ia begitu sejak ia resmi jatuh cinta pada seorang lelaki dari negeri dongengnya. Dongeng yang hanya pernah ia ciptakan sendiri. Aku masih sangat ingat, lelaki yang disebut-sebutnya mirip Andy Lau, seorang penulis yang pernah ia kenalkan padaku satu tahun yang lalu itu. Ah bagaimana bisa ia jatuh hati pada lelaki seperti itu? Ia jatuh hati karena lelaki itu memiliki wajah yang mirip Andy Lau? Idolanya itu? Itu sinting! Itu gila! Itu benar-benar tidak masuk akal!
Lalu ia patah hati ketika cintanya bertepuk sebelah tangan. Sejak saat itulah, aku tahu kenapa puisi-puisi yang ditulis olehnya seperti menangis. Rupanya perempuan itu melahirkan puisi dari air mata dan luka.
Maya, aku tidak bisa berhenti mengeja namanya. Perempuan itu adalah pencerita dongeng yang ditakdirkan untuk membuatku tergila-gila.
***
Aku benci menunggu, kamu sangat tahu itu kan? Awas saja. Aku pasti akan memberikanmu pelajaran jika kamu datang nanti. Tetapi sebenarnya sekujur rasa khawatir tengah dengan cepatnya mengerubungi dan menguasai diriku. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirimu. Oleh karena itulah, aku memutuskan untuk meneleponmu saja. Lama. Kamu tidak mengangkat telepon. “Kamu tidak mungkin lupa jalan kemari kan? Bodoh sekali jika sampai tersesat,” aku mendesis.
            Oh, aku ingat dengan beberapa puisi yang baru saja kutulis dan ingin kutunjukkan kepadamu. Banyak juga kisah baru dalam perjalanan hidupku yang harus kamu dengarkan. Entahlah, kamu adalah pendengar yang baik. Sangat baik malah. Aku senang ketika sedang bercerita kepadamu. Kamu bahkan tidak perlu untuk berkomentar apapun apalagi mengasihani kisah patah hatiku saat ini.
“Kamu jatuh cinta?” kamu menertawakanku suatu ketika.
“Kenapa kamu tertawa? Apakah jatuh cinta adalah sesuatu yang lucu?” menertawakan sesuatu yang sama sekali tidak lucu, itu jelas sekali namanya lancang.
Lalu kamu mengamatiku dengan lekat-lekat. Tatapan yang sama sekali sangat tidak kusukai. Menjijikkan.
“Dia seperti Andy Lau,” cetusku. “Dan ini adalah untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Akan kuabadikan momen ini dalam buku harianku. Aku pertama kali jatuh cinta tepat ketika aku berusia 20 tahun.”
Aku tidak memberikan kesempatan untukmu menyelaku. “Ini tidak mungkin salah. Aku sangat tahu benar bagaimana rasanya jatuh cinta, persis seperti di novel-novel roman yang pernah aku baca. Seseorang yang jatuh cinta pasti akan lebih susah melakukan segala hal, termasuk ketika makan dan tidur. Mereka yang jatuh cinta akan selalu memikirkan seseorang yang dicintainya itu. Waktu bersama ketika bersamanya akan terasa sangat singkat sedangkan ketika berpisah, ah begitu terasa sangat panjang. Mereka akan berbunga-bunga sepanjang hari, terutama ketika mendapat ucapan selamat pagi dan selamat tidur. Terkadang mereka juga akan gelisah dan cemburu-cemburu tidak jelas. Level penasaran tentang segala hal yang berkaitan dengannya akan menaik drastis. Kamu bisa bayangkan itu? Ah, tentu saja tidak. Karena lelaki sepertimu tidak pernah mengalami rasanya jatuh cinta, bukan? Sedangkan aku, aku saat ini sedang mengalaminya.” Aku sangat menggebu-gebu bercerita.
Seketika aku benar-benar seperti sedang mendengar suara kamu. Benar sekali. Itu kamu! Aneh sekali. Hari ini kamu kuyup. Apakah kamu benar-benar menerjang hujan? Aku bahkan tidak bisa mempercayainya.
“Langit! Ke sini!” Aku melambaikan tangan ke arahmu.
***
Langit
Sudah jam satu dan hujan tak kunjung juga reda. Malah semakin deras. Aku takut Maya akan marah. Maka untuk pertama kalinya aku memutuskan untuk menerjang basah. Aku berlari, melompati genangan demi genangan air yang mengambang di jalanan. “Sudah hampir sampai,” gumamku.
            Aku juga melihat Maya. Oh, tidak seperti hari-hari biasanya. Hari ini ia mengenakan baju dengan warna yang paling ia hindari. Hitam. Tidak mungkin melesat lagi. Ia pasti sedang tidak baik. Perempuan itu punya kebiasaan yang aneh, ia seringkali menyerasikan warna baju dengan suasana hatinya. Jika langit sedang mendung, ia akan memakai baju berwarna abu-abu. Jika cerah, ia memakai baju kuning. Warna ini menggambarkan ini. Warna itu menggambarkan itu. Masih banyak hal yang susah kutebak. Tetapi satu hal yang paling aku tidak ketahui adalah ketika ia tiba-tiba memakai baju berwarna merah jambu. Apakah hatinya sedang merah jambu?
            Saat ini sudah bulan Januari. Ia memakai baju berwarna merah jambu ketika bulan Januari yang lalu. Itu menandakan sudah satu tahun. Sudah satu tahun ia tergila-gila dengan lelaki pujaannya itu. Segala cerita yang meluncur dari bibirnya begitu menderas seperti hujan. Padahal jatuh cinta yang pertama kalinya ini sekaligus membuat ada seseorang yang seketika patah. Aku. Jadi sangat salah bukan ketika ia dengan secara frontalnya mengatakan aku tidak mengerti rasanya jatuh cinta? Aku bahkan sudah mengalami. Jauh lebih dulu daripada ia. Iya. Tanpa ia sadari.
Tetapi semalaman ia terisak. Menangis tersedu-sedu. Perempuan itu bilang, ia sedang patah hati. Ah, betapa mungkin perempuan sepertinya dicampakkan? Cintanya bertepuk sebelah tangan.
Aku melihat perempuan bermata bintang itu melambaikan tangan. Aku menghampirinya.
***
Astaga! Kamu basah. Kamu menerjang hujan. Aku masih tidak percaya itu. Aku merogoh kamera dari tasku. Memotret. Mengabadikan momen paling langka ini.
            Terus terang saja. Ada beberapa hal yang mengharuskan aku untuk menunjukkan rasa marah padamu. Tetapi lagi-lagi. Betapa aku tidak bisa. Aku kasihan melihatmu terlilit gigil seperti itu.
            “Biarkan kupesankan cokelat panas untukmu dulu.” Aku membuka percakapan.
            “Kamu tidak marah?”
            “Untuk?” aku pura-pura tidak mengerti.
            “Ya karena aku hari ini terlambat. Kamu pasti sudah menunggu cukup lama, bukan?”
            “Bukan cukup. Tapi sangat lama sekali.” Aku sangat jengkel mendengar kamu mengucapkan kalimat cukup dengan entengnya.
            “Oke. Jadi kenapa dia meninggalkanmu?”
            Betapa sungguh tidak sopannya kamu. Sudah datang terlambat. Tidak minta maaf. Tidak merasa bersalah. Dan sekarang menanyakan sesuatu dengan tanpa beban seakan menanyakan kamu sudah makan atau belum?
            Mendadak aku jadi ingin cepat minggat saja dari tempat ini. Manusia dingin sepertimu, sebaiknya diapakan? Aiiiih...
            “Jangan cemberut gitu ah. Oke aku minta maaf. Banget!” kamu menangkupkan kedua tanganmu.
            Aku sama sekali tidak tertarik dengan kata maaf. Aku lebih tertarik dengan apa yang terjadi pada sepatumu.
            “Kamu tidak pakai sepatu? Sepatumu kemana?” aku bertanya penasaran.
            “Rusak. Langkahku semakin terhambat karenanya,” kamu menjawab
“Jadi kamu membuangnya begitu saja?” aku tidak bisa untuk tidak mendesak kali ini. “Itu sepatu yang kuberikan pada saat ulang tahunmu yang ke 23. Serusak dan sejelek apapun, harusnya kamu tidak membuangnya. Kamu cukup menyimpannya dan itu bisa membuatku bahagia. Bukankah aku pernah bilang seperti itu padamu?”
***
Langit
Hanya karena aku membuang sepatu usang pemberiannya itu. Maya sangat marah padaku. Marah sekali. Perempuan itu kerap menerapkan peraturan-peraturan aneh. Tetapi justru itu yang membuatnya terasa istimewa untukku. Jika katanya, sepatu itu mempunyai kisah sedih yang hanya bisa disimpan dan diceritakan untuk dirinya sendiri. Maka ada satu hal yang harusnya juga perlu ia ketahui. Di luar sana sedang hujan, seorang lelaki dingin kedinginan berharap perempuan bermata bintangnya kembali. Lelaki itu kerap menyeduh hujan dan kisah cinta diam-diam yang hanya mampu dipendam. Untuknya sendiri.
Rupanya tidak butuh waktu lama untuk membuat aku dan ia, menjadi kembali asing.
Aku melangkah tanpa takut lagi terkena basah. Aku sayup yang tak pernah takut lagi menjadi kuyup. Aku adalah dingin yang ingin mencintainya tanpa harus diam-diam lagi. Dalam hujan aku menari, sembari merapalkan sebuah nama yang menjadi namanya. Maya.
Yang menghimpun banyak ingatan adalah kenangan.
Sedangkan aku adalah rindu yang pecah dari langit yang gemuruh itu.

Kini aku tahu apa yang harus aku lakukan. Menjemputnya. Mengatakan segalanya. Sebelum menyesal. Sebelum semuanya menjadi lebih menyakitkan.




(Suara Sang Pelopor)
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Categories

Link list 1

Link list 3

Link list 2

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support

CC TV